Welcome

welcome to my world..

welcome to my life..

welcome to my heart..


-enjoy it-

Saturday, March 19, 2011

Bilingualisme. Baikkah untuk perkembangan anak?

Pertentangan memang banyak diungkapkan dalam perkembangan bilingualisme, baik oleh para pendidik, pemerhati anak, maupun orang tua. Oleh karena itu, sampai saat ini masalah perlunya bilingualisme pada anak masih terus menjadi topik yang diperdebatkan walaupun data – data dan kecenderungan sudah semakin terarah pada pihak yang mendukung bilingualisme.

Apabila ditinjau dari sudut lain, seharusnya anak bilingual mempunyai keuntungan lebih, seperti mudah memperluas wawasan dan lebih jauh lagi memepunyai peluang bekerja yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang hanya menguasai satu bahasa saja. Mereka juga dapat berkomunikasi dengan lebih banyak orang karena keunggulan yang mereka miliki ini. Gaya berbahasa anak bilingual juga umumnya serupa dengan bahasa aslinya, hal yang jarang dapat ditemui pada orang – orang yang belajar bahasa asing pada usia dewasa. Hal yang pasti, ia akan mempunyai kemampuan lebih untuk bersaing dalam memperoleh pekerjaan yang baik.

Bilingualisme adalah sebuah aset yang harus dikembangkan. Penelitian semakin menunjukkan keuntungan dalam hal kognitif, kultural, dan ekonomi bagi orang-orang bilingual (Hakuta & Pease-Alverez, 1992). Jadi anak-anak sebaiknya dibiasakan utnuk menjadi seorang bilingual agar ia dapat merasakan keuntungan ini.

Bilingualisme sering menjadi masalah karena ketidaktahuan orang tua dan masyarakat mengenai hal ini. Pada negara yang lebih banyak menggunakan satu bahasa, bahasa asing tentu terlihat aneh. Misalnya saja, di Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia dan jarang sekali menggunakan bahasa Inggris atau bahasa asing lain (yang punya lebih banyak kesempatan utnuk berbahasa asing adalah mereka yang tinggal di kota besar), anak yang sudah dibiasakan menjadi bilingual sejak kecil tentu akan dipandang tidak lazim.

Akhirnya sering timbul pertanyaan, seperti apakah mempelajari dua bahasa pada masa anak-anak itu sulit dan dapat menyebabkan keterlambatan dalam perkembangan bahasa, atau apakah anak bilingual mempunyai kesempatan yang lebih sedikit yang ia pelajari daripada anak monolingual, dan akibatnya, penguasaan kedua bahasa ini tidak akan sempurna seperti anak monolingual. Juga pertanyaan apakah anak bilingual tidak dapat memisahkan kedua bahasa yang sedang ia pelajari; apakah mereka sering bingung.

"Keterlambatan pada awal masa belajar merupakan hal yang normal dalam bilingualisme. Kejadian ini merupakan bagian dari proses belajar anak. Hal yang penting adalah orang tua membeberikan lingkungan yang seimbang bagi perkembangan kedua bahasa yang sedang dipelajari anak dan jangan secara mendadak mengganti lingkungan anak secara drastis. Hal ini akan menghambat perkembangan bahasa anak karena secara emosional anak akan terganggu"

Anak bilingual juga akan menguasai kedua bahasa yang ia pelajari sebaik anak monolingual walaupun kesempatannya untuk menggunakan kedua bahasa tersebut terbatas. Anak bilingual akan mempunyai penguasaan pengucapan (fonologis) dan gramatis yang sama seperti halnya anak monolingual. Namun, pada awalnya anak bilingual memang tampak terbatas kosakatanya pada kedua bahasa yang ia pelajari. Hal ini disebabkan anak-anak mempunyai memori yang terbatas utnuk kata-kata, sementara anak bilingual harus menyimpan kata-kata dalam dua bahasa. Juga anak sering mendapatkan kata dalam satu bahasa dari seseorang dan ia tidak mengetahui kata tersebut dalam bahasa kedua. Bila jumlah kata-kata dari kedua bahasa tersebut dijumlahkan, jumlahnya akan sama dengan jumlah kata-kata anak monolingual. Lagipula, biasanya saat anak memasuki usia sekolah, kosakata mereka akan meningkat dengan cepat dalam kedua bahasa tersebut.

"Lebih lanjut, Genesee mengatakan bahwa proses tercampuraduknya bahasa ini merupakan proses yang normal bagi anak untuk menjadi bilingual. Hal ini bukan disebabakan anak bingung dalam memilih kata, namun karena kosakatanya masih terbatas. Ia tidak mengetahui kata yang ia maksud dalam bahasa yang sedang ia gunakan. Orang dewasa bahakan sering mencampuradukkan bahasa yang mereka kuasai agar terdengar lebih cangih. Bila lingkungan anak sering menggunakan bahasa yang tercampur-aduk ini, anak akan melakukannya karena ia meniru. Biasanya seiring dengan berkembangnya kosakata anak, campur-aduk ini akan hilang dengan sendirinya."

Pada awalnya amat wajar bila anak menggabungkan dua bahasa yang berbeda salam satu kalimat (McLaughlin, 1995 dlm www.mll.kenyon.edu). Hal ini disebut language mixing atau code switching dan sama sekali bukan merupakan pertanda bahwa anak mengalami kebingungan atau mengalami penurunan kemampuan bahasa dalam bahasa lain. Hal ini merupakan sebuah proses yang wajar bagi anak untuk dapat menguasai kedua bahasa tersebut dengan baik. Kerancuan ini akan hilang seiring bertambahnya penguasaan anak terhadap kedua bahasa ini.

Kid source (www.kidsource.com) juga menanggapi language mixing ini sebagai sebuah proses yang wajar dalam perkembangan anak bilingual. Penggunaan bahasa yang tampak kacau ini terjadi karena mungkin saja ada kata - kata pada bahasa yang satu yang tidak ada pada bahasa yang lainnya, atau mungkin ekspresi bahasa yang satu lebih tepat digunakan daripada bahasa yang lainnya. Anak juga biasanya bereksperimen dengan kata – kata dari kedua bahasa tersebut dengan mencoba menggabungkannya.

Bagi beberapa anak bilingual, code switching adalah fenomena yang normal. Dalam perkembangannya mempelajari dua bahasa yang berbeda, wajar bila pada awalnya ia mencampuradukkan dengan kebiasaan – kebiasaan orang – orang di sekitar anak yang terbiasa untuk mencampuradukkan bahasa karena kedengarannya lebih canggih (www.eriffacility.net).

"Menurut McLaughlin adalah adanya masa ketika anak akan tampak berkurang kemampuannya dalam mengguankan bahasa asli, namun bahasa keduanya juga tidak tampak berkembang. Peristiwa ini disebut language imbalance. Tentu saja peristiwa ini akan hilang dengan sendirinya seiring dengan bertambahnya kemampuan berbahasa anak."
Namun, peristiwa ini sering dibesar – besarkan sebagai kelemahan anak bilingual. Penelitian yang membandingkan anak bilingual dan monolingual juga sering dilakukan pada saat anak bilingual memasuki fase ini sehingga tampak bahwa kemampuan berbahasa anak bilingual lebih rendah daripada anak monolingual.

Jarang anak dapat benar – benar sempuran dalam kedua bahasa yang sedang ia pelajari. Anak perlu waktu untuk dapat menguasai kedua bahasa yang sedang ia pelajari dengan sempurna. Ada waktu ketika kemampuan anak menggunakan bahasa aslinya menurun, sementara bahasa keduanya belum berkembang. Kejadian ini merupakan proses yang normal bagi anak dalam pembelajarannya.

Kid source (www.kidsource.com) menambahkan bahwa wajar bila anak bilingual mengalami keterlambatan dalam menguasai kedua bahasa yang sedang dipelajarinya. Hal ini bukan karena bilingualisme menyebabkan masalah pada perkembangan bahasa dan berbicara anak, namun karena anak sedang mencerna kedua bahasa yang sedang ia pelajari. Bila proses ini sudah selesai, anak akan dapat menerima kedua bahasa ini dengan mudah. Secara umum, anak tidak akan mengalami masalah yang berarti dalam berbahasa dan berbicara bila kedua bahasa dikenalkan sejak awal dan dengan intensitas yang baik.

Menjawab pertanyaan yang sering ditanya orang tua, yaitu apakah mempelajari dua bahasa akan mengakibatkan anak hanya fasih dalam satu bahasa saja, Diaz (1983 dlm. Papalia, 1993) mengemukakan bahwa hal ini tidak benar. Bahkan pada saat anak menguasai bahasa keduanya tanpa mengorbankan bahasa aslinya, anak yang menguasai dua bahasa umunya mempunyai kecenderungan mempunyai presatsi akademis yang lebih baik.

Secara umum, menguasai sebuah bahasa tidak akan mempengaruhi kemampuan kita akan bahasa kedua, sedangkan mempelajari bahasa kedua tidak akan membuat bahasa pertama kita menjadi lebih buruk (Papalia, 1996).

Biasanya, anak akan menguasai paling tidak satu bahasa dengan lancar pada usia tiga sampai lima tahun (www.earlychildhood.com). Biasanya pada saat yang sama anak bilingual akan dapat menguasai dua bahasa yang ia pelajari juga pada rentang usia tersebut. Hanya sayangnya, karena keterbatasan pengetahuan orang tua dan masyarakat mengenai bilingualism, banyak yang menganggap bahwa mempelajari dua atau lebih bahasa pada masa kanak – kanak merupakan sesuatu yang berbahaya. Hal ini biasanya juga terjadi pada lingkungan yang homogeny. Bila pada suatu daerah hanya digunakan satu bahasa secara intensif, maka anak yang dibiasakan menggunakan dua bahasa saat ia masih kecil akan dianggap tidak normal.

Para ahli bahasa berpendapat bahwa saat untuk mempelajari bilingualism adalah pada saat kelahiran sampai pubertas. Hal ini disebabkan karena struktur otak cenderung berubah setelah pubertas, yang mengakibatkan makin sulitnya seseorang untuk mempelajari sebuah bahasa baru. Jadi lebih mudah untuk memepelajari sebuah bahasa asing pada saat kita masih anak – anak dibandingkan saat kita sudah dewasa. Lebih jauh lagi, anak – anak akan dapat memiliki aksen asli dari bahasa keduanya tersebut (www.brainy-child.com).

Ada pendapat yang mengatakan bahwa bilingualism dapat menyebabkan keterlambatan bicara dan gangguan bahasa (language disorder). Hal ini disebabkan karena anak yang mendengar dua bahasa yang berbeda akan merasa kebingungan dan akhirnya menimbulkan masalah dalam perkembangan bahasanya. Bahasa ibu juga dianggap akan dapat dikuasai dengan lebih baik bila tidak ada kompetitor yang menganggu perkembangannya.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan bila orang tua ingin menjadikan anaknya seorang bilingual. Hal pertama adalah komitmen orang tua saat memutuskan untuk membuat anaknya bilingual. Ini karena orang tua yang mempunyai komitmen yang jelas dan pasti akan dapat lebih berhasil menerapkan bilingualisme pada anaknya (www.brainy-child.com).

Konsistensi juga merupakan kunci penting mempelajari sebuah bahasa. Apabila kita sering mencampuradukan dua bahasa dalam satu kalimat, anak akan mengalami kesulitan dalam memisahkan tata bahasa dan kosakata yang tepat. Mereka akan mempelajari bahasa yang campur-aduk tadi sebagai satu bahasa (Rosenberg, www.iteslj.org).

Orang tua juga harus mengingat untuk menyeimbangkan penggunaan kedua bahasa tersebut. Apabila di sekolah anak lebih mempunyai kesempatan untuk mempelajari dan menggunaakan satu bahasa, di rumah ia harus diberi kesempatan untuk mempelajari dan menggunakan bahasa yang lainnya. Pengalaman yang kaya akan kedua bahasa merupakan faktor penting untuk terbentuknya perkembangan bilingual yang baik.

Lebih lanjut, Rosenberg (www.iteslj.org) mengatakan bahwa kualitas interaksi bahasa juga amat penting. Bahasa yang digunakan sebaiknya tidak terlalu kompleks dan orang tua harus belajar untuk mengembangkan kemampuan anak serta member dorongan dan persetujuan padanya untuk terus belajar. Orang tua harus menjadi pendengar yang baik dan menjadi model yang baik bagi anak utnuk mempelajari tata bahasa dan menggambarkan kosakata. Menyediakan buku, musik, dan video juga penting agar anak memkiliki akses pada berbagai media yang menggunakan bahasa kedua.

Aspek yang tak kalah penting dalam pembelajaran bahasa kedua di sekolah adalah guru-guru yang mengajar. Guru – guru yang mengajar pada sekolah bilingual seharusnya adalah guru yang mengerti kedua bahasa bersangkutan tanpa kesulitan yang berarti. Selain itu, jumlah anak dalam kelas harus sedikit atau kelas kecil (Papalia, 1993). Hal ini terbukti dari sebuah penelitian di Amerika bahwa anak-anak yang ditaruh di kelas berbahasa Inggris tanpa ada pengenalan bahasa itu terlebih dahulu dan tanpa guru yang mengerti bahasa pertama anak itu umumnya akan jatuh prestasi akademisnya dan banyak pula yang mengalami drop out (Cardenas, 1977, Cummins, 1986, McLaughlin, 1985 dlm. Papalia, 1993).

Orang tua perlu memperhatikan perbedaan individual pada setiap anak. Setiap anak mempelajari bahasa sesuai dengan kemampuannya masing – masing. Hal ini berhubungan dengan sejauh mana anak emmiliki akses pada bahasa tersebut dan juga tergantung dari kapasitas intelektual anak tersebut. Biarkan anak belajar bahasa asing sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing dan jangan membandingkan seorang anak dengan yang lainnya.

Bahasa asli (bahasa ibu) memegang peranan penting dalam perkembangan bilingualisme, terutama bagi anak – anak yang mempelajari bahasa kedua pada saat mereka mulai bersekolah. Tingkat kemampuan anak dalam menggunakan bahasa aslinya merupakan indikator yang kuat atas kemampuannya mempelajari bahasa kedua. Anak yang dating ke sekolah dengan kemampuan berbicara bahasa asli yang kuat akan lebih mudah mempelajari bahasa kedua.

Bahasa asli yang digunakan di sekolah akan berguna untuk mengembangkan kemampuan anak dalam mempelajari bahasa asli dan bahasa kedua. Anak bilingual biasanya lebih berhasil di sekolah bila sekolah dengan efektif mengajarkan bahasa asli dan kesusastraan bahasa tersebut. Sebaliknya, bila anak diajarkan untuk menolak bahasa asli, perkembangan bahasa keduanya pun biasanya akan terhambat.

Sebernarnya, tanpa disadari, bilingualisme ini sudah sejak dahulu dipraktekkan di Indonesia. Negara kita yang mempunyai banyak suku bangsa juga mempunyai banyak bahasa daerah dan banyak orang yang menguasai bahasa Indonesia dan bahasa daerahnya dengan fasih. Hanya saja bahasa daerah umumnya mempunyai struktur bahasa yang sama dengan bahasa Indonesia, sedangkan bahasa asing mempunyai struktur bahasa yang berbeda.

No comments:

Post a Comment