Di sebuah hutan, hiduplah seorang kancil yang periang dan
suka bertualang. Suatu hari kawanannya beristirahat di sebuah lembah di kaki
gunung.
" Ibu, bolehkah aku bermain di sekitar situ ? ",
tanya si kancil.
" Boleh, tapi jangan jauh - jauh ya" jawab ibu
kancil tersebut.
Lalu si kancil itu pun pergi. Tak lama ia melihat seekor
kelinci, kelinci tersebut lari, dansi kancil mengejarnya.
Setelah beberapa saat, si kancil kehilangan jejak kelinci.
Tanpa ia sadari, ia telah jauh memasuki hutan yang gelap. Ia menoleh ke
belakang, dan saat itulah dia sadar, bahwa ia tersesat. Bagaimana ini, bagaimana aku bisa pulang? katanya dalam
hati.
Setelah berkeliling cukup lama, si kancil melihat sebuah
sungai, tanpa pikir panjang ia mulai minum di sungai tersebut. Saat ia selesai
minum, si kancil berbalik dan ia terkejut, di belakangnya ada seekor singa
sedang memperhatikannya.
" Jangan takut " sahut singa tersebut, "Aku
tak kan menyerangmu"
Dengan tubuh yang bergetar,si kancil memberanikan diri
bertanya, "mengapa? Bukankah sudah sifatmu memburu hewan sepertiku?
Singa tersebut tersenyum, "Dan bukankah sifatmu, tak
pernah jauh dari kawanan?"
Si kancil diam. Ia sungguh tak percaya pada si singa, tapi
jika memang singa ini hendak menyerangnya, bukankah sudah ia lakukan dari tadi.
Apa yang harus kulakukan?, si kancil berfikir.
Singa itu mendekat. Si kancil menjauh.
" Percayalah padaku kancil, aku bukanlah seperti yang
kau kira. Sudah dari kecil aku terlepas dari kawananku, aku singa tanpa
kawanan. Karena dulu aku tak tau dan tak bisa menyerang mangsaku, aku belajar
bertahan hidup dari memakan serangga, tanpa ku sadari, aku sudah terbiasa, dan
aku benar-benar belum pernah sekalipun menyerang binatang yang lebih besar dari
kumbang."
Si kancil tetap diam. ia bingung apa harus mempercayainya
atau tidak.
"Apa kau tersesat?", tanya si singa.
"Iya"
"Aku sudah lama hidup di hutan ini, kalau kamu mau, aku
bisa mengantarmu pada kawananmu."
"Bagaimana jika kamu malah mengantarku pada
kawananmu?" Tanya si kancil.
"Terserahlah, asal kamu tau, hutan ini penuh predator.
Silahkan cari sendiri jalan pulang, tapi jangan berharap kamu bisa menemukannya
sebelum mereka menemukanmu." Lalu singa tersebut berbalik menjauh.
Si kancil tertegun. Akhirnya ia membuat keputusan yang
mungkin ia sesali.
"Tunggu,singa" ia mengejar si singa.
"Baiklah, antar aku, tapi apa balasan yang bisa kuberikan?"
Singa tersebut tersenyum. "Aku tak meminta apapun"
"Benarkah?"
Si kancil semakin merasa heran, tapi
ia tau ia tak mempunyai pilihan lain.
"Ya, sekarang, jelaskan seperti apa tempat kawananmu
menunggu"
Si kancil lalu menjelaskan lembah yang jadi tempat istirahat
kawanannya.
"Baiklah, sepertinya aku tau temmpat itu, mari, lewat
sini"
Si kancil mengikuti singa tersebut. Selama berjam-jam mereka
berjalan. Si kancil mulai mengenal singa tersebut dan mulai mempercayainya. Ia
juga kagum pada singa itu, karena berbeda dari jenisnya. Tak pernah ia sangka
ia akan menemukan singa yang begitu baik.
Tak lama kemudian sampailah si kancil di tepi lembah.
"Baiklah, kamu akan aman dari sini, itu
kawananmu.", kata si singa.
Kancil itu tersenyum dan memeluk singa, " Terimakasih,
kuharap kita akan bertemu lagi"
"Semoga, aku mulai menyukaimu." Lalu singa itu
berbalik dan masuk lagi ke dalam hutan yang gelap.
Si kancilpun berlari menuju kawanannya. "Darimana saja
kamu? Kami semua khawatir terjadi sesuatu padamu" teriak ibu si kancil.
Lalu ia menceritakan pengalamannya pada ibunya. "Apa? pokonya apapun yang
terjadi jangan pernah bertemu dengan si singa itu. Mereka tidak pernah bisa
dipercaya. Berjanjilah!", ibunya terlihat sangat geram sekaligus takut.
"Baiklah", kata si kancil dengan murung.
***
Beberapa minggu berlalu. Musim kemarau telah tiba. Rumput -
rumput hijau sangat jarang ditemukan, mata air dan sungai - sungai dangkal pun
sudah mulai kering. Pada saat - saat seperti ini, semua hewan disini dalam
keadaan sulit, terutama karena sulitnya mendapat makanan yang layak. Udara
semakin memanas, kawanan si kancil sedang beristirahat di bawah pepohonan.
Dari
kejauhan terdengar suara ranting patah, semua kepala menoleh. Terdapat
sekawanan singa yang siap menyerang mereka. Kawanan kancil lari sekencang -
kencangnya. Si kancil berlari tanpa melihat arah, dan akhirnya ia sadar,
kawanan singa itu tak mengikutinya. Ia melihat ke sekeliling, si kancil
akhirnya sadar bahwa ia tersesat untuk kesekian kalinya.
Beberapa hari berlalu, ia hidup dalam ketakutan, berusaha
memakan apapun untuk bertahan hidup. Ia benar-benar sendirian di daerah yang
luas ini. Ia mulai berjalan menuju padang pasir yang panas. Tak lama kemudian,
ia melihat sesuatu dari kejauhan. Si kancil mendekat, ia melihat seekor singa
tengah terbaring lemah, singa yang pernah menyelamatkannya dulu.
"Kancil, itukah kamu?", tanya singa
"Ya, apa yang terjadi padamu?"
"Aku belum makan berhari-hari. Bahkan seranggapun mulai
bersembunyi. Musim panas tak pernah sepanas ini."
Si kancil merasa iba pada singa itu.
"Gigitlah aku, atau kamu akan mati", sahut si
kancil.
"Apa kamu serius? bagaimana dengan lukamu? itu juga
bisa membunuhmu"
"Sudahlah, lebih baik luka, daripada kamu
mati,singa"
Akhirnya singa mengigit sedikit daging dari punduk sikancil.
Si kancil meringis kesakitan, tapi ia tak bisa membiarkan singa yang pernah
menyelamatkanya ini mati. Lagipula, kancil itu merasa benar-benar kesepian.
Hari berganti hari, kancil dan singa itu kini berjalan
berdampingan, mencoba bertahan hidup di musim kemarau panjang ini.
Kancil memakan tumbuhan yang ia bisa temukan, dan
singa..memakan sedikit demi sedikit daging si kancil. Suatu hari mereka
beristirahat di tepi sungai yang kering. "Singa, aku ingin mencari air
dulu, kamu tunggalah disini"
Si kancil sangat menyayangi singa itu. Baginya, singa itu
merupakan teman yang setia berada disampingnya. Akhirnya ia menemukan sedikit
sisa dari air sungai. Disana juga ada seekor kijang yang sedang minum.
"Hai, kenapa pundakmu?" tanya si kijang. Kancil
mulai menjelaskan padanya.
"Bagaimana kamu bisa bilang itu kepedulian? yang ia
lakukan hanya mengambil untung darimu, ia mulai mengigitmu semakin banyak, apa
yang kau harapkan selanjutnya? bahwa ia akan berhenti menyakitimu?"
"Singa tak menyakitiku, bukankah kamu paham? Akulah
yang memintanya", si kancil membela singa.
"Maka kamu bodoh, menetapkan dirimu sendiri dalam
bahaya."
"Apa maksudmu?" tanya si kancil pada kijang.
"Bagaimanapun singa adalah singa, kancil adalah kancil,
kalian dari dua dunia yang berbeda. Dimana yang satu pemangsa dan yang satu
adalah mangsa. Kamu boleh percaya bahwa ia adalah singa yang berbeda, tapi
insting mereka tetaplah sama. Lihatlah dengan jernih, hubungan ini
menghancurkanmu, membuatmu merasa sakit. Apapun yang singa itu pernah lakukan
dimasa lalu, tinggalkanlah." Kata si kijang.
Si kancil merasa tersinggung dengan omongan kijang.
"Akulah yang paling berhak menentukan disini. dan aku
percaya singa itu tak berniat menyakitiku, jika musim kemarau ini lewat, ia
akan kembali seperti semula. dan aku akan baik-baik saja. Ia membutuhkan ku,
aku tak bisa meninggalkannya."
Kijang itu tersenyum kecil. "Ia membutuhkanmu untuk
tetap hidup, dan kamu membutuhkan menjauh darinya untuk tetap hidup. Akankah
kamu hidup seperti ini seterusnya? terluka karena ia membutuhkanmu? Kamu pikir
sampai kapan kamu bertahan sampai ia menghabisi seluruh dagingmu?"
si kancil terdiam sejenak lalu berkata, "Aku tak bisa
membiarkan Singa itu kelaparan, ia hadir disaat tak ada orang yang hadir
untukku. Ia menyelamatkan hidupku sekali, dan aku tak bisa meninggalkannya
disaat ia sangat membutuhkanku!" Tegas si kancil. Si kijang menggelang-geleng kepalanya, sambil berjalan
menjauh ia berkata,"Meskipun itu membunuhmu secara perlahan? Semoga beruntung
kawan."
Si kancil berjalan kembali ke tempat peristirahatannya.
"Singa?" tanyanya.
"Ada apa kancil?" si singa yang sedang berbaring
mulai berdiri.
"Bagaimana jika aku menolak memberimu dagingku
lagi?" tanya kancil.
"Maka aku akan mati, dan kamu akan hidup dalam
penyesalan itu seumur hidupmu. Bukankah kamu tak mau itu terjadi padamu?"
kancil itu cuma mengangguk. Pikirannya bercabang. Ia
memikirkan apa yang dikatakan kijang seharian.
Saat malam tiba, mereka tidur di
sebuah padang yang cukup gersang. Si kancil tak bisa tidur. Disatu sisi, ia
kesakitan. Disisi lain, ia tau, jika ia meninggalkan si singa, singa itu akan
hancur, akan mati. Ia merasa ada kewajiban dalam dirinya untuk berkorban untuk
singa tersebut, meskipun itu menyakitinya. Bagaimana mungkin ia tega
meninggalkan singa yang selalu ada disaat ia butuh.
Hari demi hari berlalu, singa semakin kuat, dan kancil
semakin lemah. Lukanya semakin lama semakin melebar. Sikancil sangat menderita,
tapi ia mencoba kuat untuk singa. Si kancil, dengan bodohnya, tetap memberikan
singa itu dagingnya, tak peduli dengan apa yang ia rasakan. Singa itu sering
mengambilkan air untuk kancil, dan memapahnya, karena ia terlalu lemah. Singa
terus menerus meminta maaf pada si kancil, tapi ia juga terus menerus memakan
daging si kancil tersebut.
Pada suatu hari, si kancil tak bisa bergerak lagi. Singa
terisak, dan berkata, "Mungkin ini saatnya kita berpisah, aku akan hidup
demi kita. Terimakasih sudah menjagaku selama ini." Lalu singa itu
melenggang pergi.
Tinggalah kancil tergeletak di tanah, terlalu lemah untuk
bergerak. Pada akhirnya ia merasa lebih sendirian. Lebih terluka. Singa itu
meninggalkannya dalam keadaan terluka parah. Diantara hidup dan mati. Ia
meneteskan air matanya. Si kancil tau, setidaknya dalam hati kecilnya, bahwa
ini akan jadi akhir kisahnya. Selama ini ia menutup dirinya dan berusaha
melihat yang terbaik dari si singa. Ia berkorban mati-matian untuk hidup singa,
membuang nyawanya sendiri.
Ibunya benar. Si kijang itu benar. Singa selamanya adalah
singa, sebaik apapun ia, seberapa seringpun si singa meminta maaf. Singa itu
tetap memakannya perlahan. Singa itu tetap menyakitinya. Singa itu sendang
berusaha bertahan untuk hidup, jadi mungkin itu bukan salahnya. Tapi si
kancilah yang salah, ia memberikan hidupnya pada si singa. Ia tidak
memperjuangakan hidupnya.
Beberapa saat kemudian, hujan turun. Lalu, mata si kancil
mulai tertutup. dan akhirnya ia istirahat untuk selamanya.